Waktu punya cara yang halus dalam menghapus ingatan. Apa yang dulu terasa begitu nyata—tawa keras di sore hari, tangis lirih di malam yang sunyi, atau percakapan ringan di antara dua orang yang saling memahami—pelan-pelan memudar. Cerita-cerita yang dulu sering kita ulang kini tertimbun oleh kesibukan, jarak, dan perubahan. Namun, di tengah semua yang bisa hilang itu, ada satu hal yang tetap tinggal: tulisan. Ia menjadi penanda bahwa pernah ada rasa, pernah ada momen, dan pernah ada hidup yang tak ingin dilupakan.

Tulisan tidak butuh ruang megah atau panggung besar. Ia bisa hadir di catatan kecil, di selembar surat, di sudut buku harian, atau bahkan di dinding dunia maya yang kadang terasa asing. Tapi di manapun ia tertuang, tulisan menyimpan kekuatan untuk melampaui waktu. Ia bisa dibaca ulang, dipahami dari sudut baru, atau mengingatkan kembali pada siapa diri kita dahulu. Ketika suara sudah tak terdengar dan wajah mulai memudar dari ingatan, tulisan akan tetap bersuara—membisikkan kembali fragmen-fragmen yang sempat terlupakan.

Banyak dari kita menyepelekan menulis, menganggapnya bukan kebutuhan utama. Padahal, dalam tulisan, kita menyusun ulang hidup: merapikan luka, memberi makna pada kekacauan, dan merekam apa yang tidak bisa kita ceritakan langsung. Saat hati tak mampu bicara, tangan bisa jadi juru bicaranya. Bahkan untuk diri sendiri di masa depan, tulisan menjadi surat cinta yang paling jujur. Bukan tentang indahnya kata-kata, tapi tentang keberanian untuk jujur, dan kesediaan untuk mengingat.

Karena itulah menulis bukan sekadar aktivitas, tapi warisan. Mungkin cerpen bahagia yang kita bagi hari ini akan terlupakan oleh orang lain—atau bahkan oleh kita sendiri. Namun jika kita berani menuliskannya, kisah itu bisa bertahan lebih lama dari usia kita. Tulisan tidak butuh daya ingat, karena ia sendiri adalah ingatan yang hidup. Jadi tulislah, meski hanya sebaris. Sebab apa yang tertulis tak akan pernah benar-benar hilang.